Rabu, 08 Februari 2017

PAKUWON GOLF & FAMILY CLUB





Prestigious 5* Food & Beverage Banquet Service for any Wedding Party and Corporate Functions.
Exclusive Par-3 and Unique 18-Holes Golf Course with the only Night Golf available in town.
Family Club with Unlimited Facilities, High-Tech Gym, Large Swimming Pool & Slides, Spacious Sport Hall for indoor Badminton, Basket Ball, Tennis Tables, Squash, Outdoor Tennis Court and Soccer Field

Rabu, 01 Februari 2017

Rumah WR Supratman




Rumah WR Supratman

WR. Soepratman merupakan pahlawan nasional. Begitu besar jasa beliau. Dengan biolanya beliau mencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya. Makam dan museum beliau banyak dikunjungi wisatawan dari dalam dan luar kota Surabaya. Menurut keterangan yang tertulis pada relief dinding di areal makam, WR. Soepratman di lahirkan di Jatinegara Jakarta pada hari Senin 9 Maret 1903 dan meninggal pada 17 Agustus 1938. Beliau anak seorang tentara berpangkat sersan bernama Senen dari Batalyon VIII. Beliau meninggal di usia yang relatif muda akibat sakit-sakitan  tertekan oleh Belanda yang memburu setiap aktivitas perjuangannya. Beliau sempat masuk penjara Kalisosok Surabaya sampai pada akhirnya meninggal dunia. Sejak masih muda WR. Soepratman sudah menunjukkan bakat dan kecintaannya terhadap alat musik gitar dan biola. Pada tahun 1914 berkat asuhan kakak iparnya WM. Van Eldik (Sastromiharjo) akhirnya Soepratman menjadi pandai mencipta lagu dengan bantuan gitar dan biola. Dengan gesekan biolanya WR. Soepratman berhasil menciptakan lagu kebangsaan Indonesia Raya.  Meski dalam konggres pemuda yang mencetuskan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 nyanyian lagu Indonesia Raya sempat dilarang keras oleh pemerintah Hindia Belanda. Namun ketika Jepang hampir menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Hingga pada tahun 1944 Jepang memperbolehkan lagu ini dikumandangkan. Pemerintah Indonesia akhirnya menetapkan Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan mulai 26 Juni 1958 melalui peraturan pemerintah No. 44/1958. Museum WR. Soepratman terletak tidak jauh dari makamnya. Kira-kira 1 kilometer dari makam beliau. Tepatnya berada di Jalan Mangga Tambaksari Surabaya. Satu hal yang patut kita renungkan sebagai generasi penerus ialah pesan terakhir WR. Soepratman. Adapun bunyi pesan itu “Nasibkoe soedah begini. Inilah jang disoekai oleh pemerintah Hindia Belanda. Biarlah saja meninggal saja ichlas. Saja toch soedah beramal, berdjoang dengan carakoe, dengan biolakoe. Saja yakin Indonesia pasti merdeka”.



Pura Agung Jagad Karana




Pura Agung Jagad Karana

“Om swastyastu… Om swastyastu.. Om swastyastu.” Kata-kata ini akan sering Anda dengar saat mengunjungi Pura Agung Jagad Karana yang merupakan salah satu tempat ibadah bagi umat Hindu di Surabaya. Tak sekedar menjadi tempat ibadah, pura ini juga layak menjadi obyek wisata religi yang patut dikunjungi.
Pura Agung Jagad Karana terletak di jalan Gresik-Surabaya atau di Jalan Ikan Lumba-Lumba No 1, Perak Barat, Krembangan dekat dengan Museum Loka Jala Srana Sehingga membuat ibadah lebih hikmat dan tenang. Lokasinya jauh dari keramaian sehingga membuat suasana tempat ini tenang dan hikmat.
Dibangun pada tahun 1968 pura ini diresmikan pada Sabtu, 29 November 1969 oleh Kepala Staf Kodamar V Maritim Comodor R Sahiran. Peresmian bertepatan dengan Hari Saraswati yang sekaligus untuk memperingati Dewi Saraswati yang dikenal sebagai dewi ilmu pengetahuan.
Pura ini telah mengalami pemugaran sebanyak dua kali, yang pertama pada tahun 1987 dan kedua pada tahun 2003, dimana selama dua tahun tersebut bangunan utama direnovasi menyeluruh. Hasilnya padmasana atau tempat sesaji menjadi lebih lengkap dengan adanya dua pepelik, dua apit Lawang, penglurah dan bale pesantian. Hingga saat ini, perbaikan dan penambahan terus dilakukan agar Pura Agung Jagad Karana semakin lebih baik. Pembangunan kemudian direncanakan untuk meninggikan lantai bangunan utama, perbaikan lantai sekitar bangunan serta pemeliharaan pagar yang mengililingi pura.
Di tempat ibadah ini pada sekitar pintu masuk, Anda akan melihat dinding yang mengelilingi pura. Saat melangkah masuk ke dalam tampak lantai dari yang terbuat paving. Di sepanjang jalan deretan bunga menghadirkan suasana segar, damai dan serasa terasa lebih hikmat.
Kompleks pura ini berdiri di atas lahan seluas 7.703 meter persegi. Di dalam kompleks tersebut terdapat beberapa bangunan yang meliputi bangunan utama atau disebut mandala utama (jeroan), mandala madya (jaba tengah), serta mandala nista (jaba luar). Pada masing-masing bangunan terdapat ruang utama sesuai dengan penamaan.
Mandala utama memiliki Padamasana, pepelik, Penglurah, Patung Ganesha, Bale Pawedan, Bale Pesantian, Kori Agung dan penyengker. Lalu di Mandala Madya terdapat berbagai keperluan sembahyang berupa beji, bale gong, bale sebaguna, bale pewaregan, candi bentar, bale pesanekan, penyengker serta sekretariat PHDI Jawa Timur. Sedangkan di Mandala Nista, terdapat Bale Manusa yadnya, Pasraman, Patung Dewi Saraswati. Tak hanya itu fasilitas seperti kamar mandi, toilet, tempat parkir dan sekretariat banjar Surabaya.
Pura ini ramai dikunjungi menjelang Hari Raya Nyepi, khususnya pada saat upacara Melasti. Umat Hindu datang dari berbagai daerah untuk sembahyang dan melakukan ritual keagamaan. Tak hanya dari Surabaya, umat Hindu datang dari berbagai daerah di Jawa Timur seperti Sidoarjo, Lamongan dan Gresik. Perayaan akan diakhiri dengan arak-arakan sesajen, pratime, umbul-umbul dan peralatan sembayang lain.
Mengenakan pakaian serba putih umat Hindu dari Pura Agung Jagad Karana ini akan berjalan sejauh tiga kilometer menuju pantai di Kompleks TNI AL sambil diiringi suara tetabuhan. Pada puncak acara, akan dilakukan larung sesaji ke laut yang bermakna sebagai simbol penyucian diri dan melepaskan segala kotoran baik berupa perkataan, pikiran dan ataupun perbuatan.
Salah satu acara puncak yang sayang untuk Anda lewatkan adalah upacara tawur yang diadakan sehari sebelum perayaan Nyepi. Upacara Tawur Kesangan atau upacara Buta Yadnya adalah upacara untuk menghaturkan pecaruan kepada Sang Bhuta Kala, agar tidak mengganggu umat. Acara diakhiri dengan diadakannya pawai ogoh-ogoh yang diarak hingga ke pusat kota Surabaya. Oleh karena itu, jika Anda berniat berkunjung ke Pura Agung Jagad Karana, datanglah menjelang hari raya Nyepi. Selain menambah pengetahuan tentang khasanah antar umat beragama juga merupakan nilai tambah kearifan lokal yang yang bertujuan sebagai harmonisasi hidup berbudaya.

Makam Ki Ageng Bungkul





Makam Ki Ageng Bungkul


Surabaya memang sudah menjadi kota yang besar, akan tetapi nuansa religius masih ada. Hal ini dapat dilihat di makam Sunan Bungkul atau Mbah Bungkul, letaknya berada di tengah kota tepatnya di Kelurahan Darmo, Kecamatan Wonokromo. 


Namun, tidak semua orang mengetahui jika di Surabaya terdapat makam Sunan Bungkul. Selama ini yang sering diketahui hanya sebatas makan Sunan Ampel. Padahal jika ditelusuri ada kaitan sejarah antara Sunan Ampel dan Sunan Bungkul.


Selain itu, di sekitar kawasan makam Bungkul terdapat taman yang selalu ramai dikunjungi warga setiap harinya. Tidak cuma orang tua dan anak-anak yang berkunjung ke taman, namun banyak kalangan muda-mudi yang berpacaran. Maka tidak mengherankan jika ada sebutan dari kalangan masyarakat untuk kawasan Bungkul yakni "siang agamis, malam romantis".


Meski demikian, tidak menafikkan jika masih ada sejumlah warga yang menilai adanya sisi keramat dan sakral di Makam Sunan Bungkul. Sehingga masih pengunjung yang datang dari luar kota seperti Kediri, Blitar, Malang, Pasuruan, Sidoarjo dan Tulungagung. Jika pada saat liburan dan bulan Ramadhan, tingkat kunjungan sampai mencapai ribuan orang, sedangkan pada hari normal berkisar 100 orang.


Selain pengunjung perorangan, tidak sedikit mereka datang berombongan dengan menumpang bus dari berbagai daerah. Umumnya, peziarah merangkai jadwal kunjungannya bersamaan dengan ziara ke makam sembilan wali yang tersebar di Jawa Timur dan Jawa Tengah.


Pengunjung baik laki-laki maupun perempuan dengan berbagai keyakinan mendatangi tempat ini. Mereka meyakini Mbah Bungkul adalah sosok kharismatik yang membantu perjuangan Raden Rahmat (Sunan Ampel) menyebarkan Islam di Jawa Timur. 


Ada beberapa versi bahwa Sunan Bungkul adalah Ki Ageng Supo, atau Mpu Supo, seorang bangsawan Majapahit yang setelah masuk Islam menggunakan nama Ki Ageng Mahmuddin.


Sunan Bungkul adalah salah satu mertua Raden Paku, yang kemudian dikenal sebagai Sunan Giri, setelah Raden Paku secara tidak sengaja memungut buah delima dari Sungai Kalimas. Tanpa diketahuinya, Sunan Bungkul telah memiliki niatan bahwa barang siapa yang menemukan buah delima itu akan ia jodohkan dengan puterinya yang bernama Dewi Wardah.


Padahal Raden Paku telah dijodohkan lebih dahulu dengan puteri Sunan Ampel yang bernama Dewi Murthasiah, namun karena perjodohannya dengan Dewi Wardah mendapat restu dari Sunan Ampel, maka Raden Paku pun menikahi kedua puteri itu pada hari yang sama. 


"Perjuangan Mbah Bungkul dalam menyebarkan Islam waktu itu sangat besar. Makanya, kami jauh-jauh dari Pasuruan berziarah ke sini," kata Hilman, warga Pasuruan.


Ia mengatakan hampir setiap bulan Ramadhan bersiarah ke makam Sunan Bungkul bersama kerabat-kerabatnya yang ada di desanya. "Biasanya satu paket wisata religi ke makam Sunan Ampel. Habis dari Ampel terus ke Bungkul," katanya.


Sementara itu, salah seorang pegawai di salah satu perusahaan swsta di Surabaya, Rahman mengaku tenang jika berdoa di sekitar makam Sunan Bungkul. Bahkan setiap istirahat jam bekerja, sering ke makam Bungkul untuk berdoa.


"Kadang saya sampai ketiduran di sini," ujarnya usai berbaring di salah satu pendopo di makam itu.


Bagi masyarakat yang ingin pergi ke Sunan Bungkul rute yang ditempuh apabila dari arah utara tepatnya dari Jalan Panglima Sudirman terus Urip Sumoharjo kemudian Jalan Darmo dan sebelum Taman Bungkul belok kiri dan dapat parkir di sekitar Taman Bungkul. Apabila dari Selatan melalui Jalan Ahmad Yani, Jalan Wonokromo dan sampai di Kebun Binatang Surabaya (KBS) lansung masuk arah Jalan Raya Darmo terus ambil lajur kanan kemudian putar balik di depan Taman Bungkul kemudian masuk ambil lajur kiri masuk jalan Juwono kemudian lurus langsung parkir di sekitar Sunan Bungkul.


Sesampai di Area Sunan Bungkul dapat langsung menuju makam atau mau beristirahat dahulu sambil menikmati makanan yang disajikan oleh pedagang kaki lima yang tersedia di sekitar makam, sepeti nasi rawon, soto, pecel dan lainnya. Bahkan disekitar makam dijual makanan khas Semanggi Surabaya.


Untuk masuk ke dalam makam, pada umumnya pengunjung melewati gerbang paduraksa di dalam makam Sunan Bungkul yang membatasi bagian luar dengan bagian tengah makam. Gerbang paduraksa adalah gerbang dengan penutup di bagian atasnya, sedangkan candi bentar merupakan gerbang tanpa penutup. Setelah masuk gerbang paduraksa terdapat sebuah surau kecil yang konon dibangun oleh Sunan Bungkul bersama dengan Raden Rahmat (Sunan Ampel). 


"Biasanya, saya dan keluarga sholat dulu di surau itu, sebelum berziarah di makam Mbah Bungkul dan sejumlah pengikutnya yang satu lokasi berdekatan," kata Andik, warga Lamongan.


Untuk menuju makam, pengunjung harus melewati gapura paduraksa yang lebih kecil, menghubungkan bagian tengah dengan bagian dalam, dimana Makam Sunan Bungkul berada. Makam Sunan Bungkul berada dalam sebuah cungkup dimana berjajar beberapa makam yang nisan dan badan kuburnya diselimuti dengan kain putih.


Usai berziarah, pengunjung bisa menikmati satu lagi keajaiban yang hingga saat ini masih terjaga, yakni menikmati air sumur tua buatan Mbah Bungkul dan Raden Rahmat untuk diminum. 


"Saya ambil air di sumur untuk saya minum. Airnya bening dan sejuk. Semoga airnya berkah," kata Ny. Ansori warga Benowo Surabaya saat bersama keluarganya mengunjungi makam Sunan Bungkul.


Ia mengatakan sudah beberapa kali datang ke tempat ini dan selalu mengambil air sumur untuk diminum dan selebihnya dibawa pulang dengan botol plastik.


Konon sumur tua yang diapit pohon sawo kecik dan beringin di dalam kawasan Makam Sunan Bungkul itu dibuat Mbah Bungkul dan Raden Rahmat dalam semalam.


Saat akan mengambil air wudhu untuk sholat malam, Raden Rahmat tidak menjumpai air. Kemudian, sesaat setelah bermunajad, ia mengajak Mbah Bungkul untuk menggali tanah. Dalam sekejap galian itu sudah mengeluarkan air yang sangat bening dan sejuk.


Sejak itu, keberadaan sumur dan dua orang yang bisa dimintai pertimbangan, membuat satu persatu orang bergabung dan ikut menetap. Mereka belajar apa saja dari keduanya hingga akhir hayat.


Taman     
Seiring perkembangan waktu, di sekitar makam Sunan Bungkul, dibangun taman oleh Pemerintah Kota Surabaya. Taman Bungkul yang berada di Jalan Raya Darmo Surabaya awalnya merupakan tempat yang kotor dan gelap, kini sekarang sudah menjadi sebuah taman wisata yang sangat ramai dikunjungi tiap hari oleh warga Surabaya dan sekitarnya. 



Melalui tangan dingin Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, Taman Bungkul menjadi salah satu taman terbesar yang paling banyak dikunjungi warga setiap harinya.    Revitalisasi Taman Bungkul dengan konsep Sport, Education, dan Entertainment telah diresmikan sejak 21 Maret 2007.


Area seluas 900 m2 yang dibangun dana sekitar Rp1,2 miliar itu pun dilengkapi berbagai fasilitas, seperti skateboard dan sepeda BMX track, jogging track, akses internet nirkabel (Wi-Fi atau Hotspot), telepon umum, arena green park seperti kolam air mancur, dan area pujasera. 


Untuk menunjang semua itu, tingkat kebersihan dan keamanan di sekitar Taman Bungkul terus dijaga. Bahkan Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Surabaya telah mempekerjakan delapan tenaga kebersihan untuk menjaga kebersihan dan sekaligus merawat tanaman bungah maupun pepohonan lainnya.


Tidak tanggung-tanggung, Taman Bungkul meraih penghargaan Internasional dari Perserikatan Bangsa Bangsa berupa "The 2013 Asian Townscape Sector Award" yang akan diberikan di Jepang pada 26 November 2013.


Penghargaan tersebut juga mendapat dukungan dari empat organisasi dunia yakni UN Habitat Regional Office for Asia and The Pacific, Asia Habitat Sociaety, Asia Townscape Design Society dan Fukuoka Asia Urban Research Center.

Wali Kota Surabaya mengatakan penilaian paling menonjol dari Taman Bungkul didasarkan atas fungsi sosial, budaya, rekreasi dan pendidikan. "Kalau dari sisi fisik, banyak taman yang lebih baik di dunia. Tapi karena Taman Bungkul fungsinya bermacam-macam sehingga menjadi penilaian tersendiri," ujarnya.